BeritaEksekutifNasionalPemkab Kapuas

Wujud Do’a dan Penghormatan Leluhur Melalui Ritual Adat Dayak Ngaju Iringi Pembangunan Jembatan Kapuas Hilir Agar Berjalan Aman dan Lancar

3
×

Wujud Do’a dan Penghormatan Leluhur Melalui Ritual Adat Dayak Ngaju Iringi Pembangunan Jembatan Kapuas Hilir Agar Berjalan Aman dan Lancar

Sebarkan artikel ini
Kristian Stevanus, S.Sos, tokoh muda sekaligus budayawan Kapuas Hilir saat memim,pin ritual adat Dayak Ngaju sebagai tanda restu atas dimulainya kembali pembangunan jembatan Sei Asam–Balai Pertanian di Kapuas Hilir.(Photo/ali)

Kuala Kapuas. eNewskalteng.com — Suasana pagi di tepian Sungai Kapuas Hilir, Jumat (3/10/2025), terasa berbeda. Asap dupa perlahan mengepul, berpadu dengan aroma dedaunan segar dan gemericik air sungai. Di lokasi yang akan menjadi pondasi Jembatan Sei Asam–Balai Pertanian, masyarakat adat Dayak Ngaju berkumpul melaksanakan ritual adat sebagai tanda restu atas dimulainya kembali pembangunan jembatan tersebut.

Prosesi adat dimulai dengan Manaur, dilanjutkan Tampung Tawar dan Ma Ancak. Sesaji berisi hasil bumi dan simbol kehidupan tersusun rapi di wadah tradisional. Ritual dipimpin Kristian Stevanus, S.Sos, tokoh muda sekaligus budayawan Kapuas Hilir yang akrab disapa Dedon kepada sejumlah awak media yang meliput kegiatan ritual adat tersebut. “Ritual ini bukan sekadar tradisi turun-temurun, tetapi bentuk penghormatan kepada roh leluhur serta do’a agar pembangunan berjalan aman, lancar, dan membawa keselamatan bagi semua yang terlibat,” tambah Dedon.

Dalam budaya Dayak Ngaju, Tampung Tawar bermakna menolak bala dan menghadirkan keseimbangan. Percikan air suci yang ditaburkan tidak hanya ditujukan kepada para pekerja, tetapi juga kepada alat berat yang akan digunakan. Sementara Tawur di lokasi pembangunan menjadi simbol penyelarasan energi antara tanah, air, dan manusia agar menyatu dalam harmoni.

Bagi masyarakat Kapuas Hilir, Jembatan Sei Asam bukan sekadar proyek fisik, melainkan harapan yang lama ditunggu. Selama ini, akses warga masih terbatas, terutama bagi petani yang harus membawa hasil bumi melewati jalur sulit, apalagi saat musim hujan. “Kalau jembatan ini jadi, tentu sangat membantu kami. Hasil panen bisa dibawa lebih mudah, biaya transportasi berkurang, dan akses ke pasar lebih cepat,” ujar Junaidi, petani padi dari Sei Pasah.

Ia juga mengapresiasi pemerintah yang menghormati kearifan lokal dengan mendahului pembangunan melalui prosesi adat. “Itu artinya pembangunan ini bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga restu leluhur,” tambahnya.

Langkah pemerintah daerah yang melibatkan masyarakat adat mendapat apresiasi luas. Menurut tokoh masyarakat Kapuas Hilir, hal ini menjadi contoh nyata bahwa pembangunan fisik dapat berjalan seiring dengan pelestarian nilai budaya. “Pembangunan jembatan bukan hanya untuk mempercepat mobilitas, tetapi juga memperkuat identitas kita sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat. Doa dan restu leluhur adalah bagian penting dari perjalanan pembangunan ini,” tutur salah seorang mantir adat yang turut hadir.

Ketika prosesi adat berakhir, lantunan do’a masih terngiang di tepian sungai. Masyarakat berharap pembangunan berjalan lancar dan selesai tepat waktu. Lebih dari itu, mereka ingin jembatan ini menjadi warisan bagi generasi mendatang. “Harapan kami sederhana: jalan terbuka, akses mudah, anak cucu bisa menikmati, dan ekonomi masyarakat meningkat,” kata Kristian menutup prosesi dengan senyum.

Hari itu, ritual adat menjadi pengingat bahwa pembangunan bukan hanya tentang beton dan besi, tetapi juga tentang doa, budaya, dan harapan. Di tepian Sungai Kapuas Hilir, masyarakat Dayak Ngaju telah menitipkan restu leluhur agar Jembatan Sei Asam kelak berdiri kokoh sebagai penghubung kehidupan.(red)